Embun masih menempel di ujung daun padi, berkilau seperti mutiara kecil yang enggan hilang meski matahari mulai meninggi.
Dari arah timur, cahaya keemasan menembus sela-sela pepohonan, menyapu hamparan sawah yang hijau segar.
Di antara bentangan itu, sebuah rumah joglo berdiri anggun di atas pematang, berpendopo lebar, teduh, seakan menjadi penjaga waktu di tengah kehidupan desa yang sederhana.
Pak Jatmiko berdiri di pematang, cangkul di tangan. Tubuhnya kurus, kulitnya legam terbakar matahari, tapi sorot matanya hangat.
Ia menatap rumah joglo itu lama, rumah warisan leluhurnya. Konon, kakek buyutnya sendiri yang membangunnya dengan kayu jati pilihan, setiap tiang dipahat dengan doa, setiap ukiran membawa cerita.
Dari kejauhan, suara riang ratusan bebek mengisi udara. Mereka berenang di antara rumpun padi muda, mencari makan sambil sesekali mengepakkan sayap.
Pak Jatmiko tersenyum melihatnya. “Ah, bebek-bebek ini lebih tahu cara menikmati pagi daripada manusia,” gumamnya.
Joglo itu bukan sekadar rumah baginya. Ia adalah saksi bisu—tentang masa kanak-kanak yang berlarian di pendopo, tentang ibunya yang menenun kain di beranda, tentang ayahnya yang duduk termenung memandang sawah sebelum berangkat ke ladang.
Kini, semuanya tinggal kenangan. Hanya ia yang masih bertahan, mencangkul sawah yang sama, memelihara rumah yang sama.
Namun, bisikan angin pagi seolah membawa kabar lain. Di kota, ada rencana besar: tanah-tanah desa hendak dibeli, sawah akan digusur, rumah-rumah akan dirobohkan.
Banyak tetangga sudah menyerah, melepas tanah mereka dengan iming-iming uang.
Pak Jatmiko menghela napas panjang. “Selama aku masih bisa mencangkul, selama matahari masih terbit di balik gunung itu, rumah ini akan tetap berdiri,” katanya mantap, menancapkan cangkul ke tanah dengan lebih kuat.
Dan saat cahaya pagi menari di dinding kayu joglo, rumah itu tampak seperti berjanji: ia akan bertahan bersama tuannya, melawan arus waktu, hingga suara bebek dan gemericik air sawah tak lagi bergema.