Matahari baru saja terbit, menyapu hamparan sawah dengan cahaya keemasan. Butir-butir embun di pucuk padi berkilau seperti permata kecil.
Ratusan bebek berenang riang di pematang, sesekali mengepakkan sayapnya, membuat riak air bergelombang halus.
Di antara kicau burung pagi, seorang petani membungkuk, mencangkul tanah basah dengan penuh ketekunan.
Namanya Pak Wiryo. Sudah puluhan tahun ia menggarap sawah ini, warisan turun-temurun dari leluhurnya. Namun, kini pemandangan di hadapannya terasa asing.
Di batas sawah, menjulang sebuah bangunan raksasa berlapis emas. Dindingnya memantulkan sinar mentari, begitu menyilaukan seakan ingin menelan seluruh horizon.
Gedung itu berdiri megah, kontras dengan kesederhanaan lumpur dan jerami di sekitarnya. Orang-orang kota menyebutnya “Istana Baru”.
Sebuah simbol kemewahan yang dibangun untuk orang-orang berjas, yang tak pernah merasakan lumpur di sela jari kaki.
Pak Wiryo menatap gedung itu dengan pandangan campur aduk. “Seindah apa pun emas, ia tak bisa menumbuhkan padi,” gumamnya pelan.
Seekor bebek mendekat, seolah mengiyakan kata-kata tuannya. Pak Wiryo tersenyum samar. Ia tahu, sawahnya mungkin suatu hari akan digusur demi bangunan lain yang berlapis emas.
Tapi selama matahari masih terbit, selama padi masih bisa tumbuh, ia akan tetap mencangkul tanah ini.
Karena bagi Pak Wiryo, emas yang sesungguhnya bukanlah yang menjulang tinggi di cakrawala, melainkan butiran nasi hangat yang ia bawa pulang untuk keluarganya.